Satu lagi kegiatan Pelangi Mahardhika yaitu mengadakan acara nonton bareng (Nobar) dan berbuka puasa bersama (Buk ber) dengan Arus Pelangi dengan judul film DO YOU SEE ANYTHING SMILE ABOUT. Acara tersebut bertepatan dengan awal bulan Ramadhan (29/6).
Film do you see anything smile about merupakan produk riset Arus Pelangi tentang LGBT yang bercerita tentang pengalaman dan keberanian untuk mengakui bahwa LGBT dan keluarga belum bisa menerima keberadaan dan pengakuan karena mereka LGBT.
Sekitar 30 orang hadir dalam acara ini. Fauziah aka Bima, selaku koordinator Pelangi Mahardhika menyambut baik kegiatan nonton bareng ini. Menurutnya, kegiatan ini sangat berguna untuk membangun dan membangkitkan keberanian kawan–kawan sebagai LGBT yang berlatar belakang buruh.
Tias, seorang teman kita dari Tangerang yang juga mendukung perjuangan LGBT, pun turut menyampaikan bahwa mengakui orientasi seksual yang berbeda bukanlah keputusan yang mudah. Masih banyak hal–hal yang ditakutkan untuk mengakui bahwa dirinya adalah LGBT. Mereka takut tidak diterima oleh keluarga dan lingkungan sekitar. Sekretaris Nasional Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi juga menilai positif kegiatan nonton bareng ini. Ini merupakan salah satu cara untuk menguatkan gerakan LGBT. Selain itu, nonton bareng ini juga dapat digunakan sebagai sarana diskusi dan sosialisasi untuk kawan – kawan LGBT. Semakin sering dan semakin banyak melakukan kampanye dengan cara – cara yang dikemas secara bervariasi, maka akan semakin menarik minat kawan – kawan untuk terlibat aktif dalam gerakan.
Kawan–kawan tunduk ditindas atau bangkit melawan, sebab diam adalah pengkhianatan. LGBT bersatu tak bisa dikalahkan.
Lebih dari 100 orang perempuan berkumpul dalam The Asian Women’s Forum on Climate Justice (Forum Perempuan Asia untuk Keadilan Iklim). Sebagian besar peserta hadir sebagai perwakilan organisasi perempuan yang ada di Filipina, dan beberapa dari Indonesia, Pakistan, Malaysia, Belgia, Prancis, Kanada, dan Srilangka. Acara yang diselenggarakan di Balay Kalinaw, Universitas Filipina, Quezon City, 2-3 Juli 2014 ini mendiskusikan secara intensif bagaimana kapitalisme telah mengeksploitasi alam dan turut memberikan andil besar dalam krisis lingkungan di dunia saat ini. Selain itu krisis lingkungan juga menimbulkan fenomena yang berefek pada produksi pangan masyarakat lokal, kesehatan, dan keamanan yang kedepannya situasi ini akan semakin menindas kaum perempuan. Dalam pembukaan acara, Marijke Colle Co-Director of International Institute for Research and Education (IIRE) dari Amsterdam memberikan introduksi tentang Krisis Lingkungan dan Ekofeminisme sebagai pemancing diskusi. Marijke menyampaikan “The ecological and social crises are the two sides of the same coin: the capitalist mode of production. It destroys the environment which is the basis of our existence as human beings and as society. It exploits the vast majority of people on earth, workers, peasants, poor people”. (Ekologi dan krisis lingkungan adalah dua sisi mata uang dari koin yang sama: mode produksi kapitalis. Ini telah menghancurkan lingkungan yang menjadi basis dari eksistensi kita sebagai manusia dan sebagai masyarakat. Ini mengeksploitasi mayoritas manusia di dunia, pekerja, petani, dan orang miskin).
Selain itu menurut Marijke, “Eco-feminists must develop a feminist view on the ecological and economical crisis of global capitalism”(ekofeminis harus membangun sebuah pandangan feminis pada ekologi dan krisisi global kapitalisme).
Dalam forum ini juga hadir Dian Novita, dari Komite Nasional Perempuan Mahardhika sebagai perwakilan dari Indonesia. Dalam presentasinya, Dian menyampaikan tentang Krisis Lingkungan dan Dampaknya bagi buruh Perempuan. Fokus utama penjelasan Dian adalah situasi buruh perempuan terutama di kawasan Berikat Nusantara Cakung, yaitu kawasan Industri tempat Perempuan Mahardhika bersama Federasi Buruh Lintas Pabrik aktif mengorganisir buruh perempuan.
Menurut Dian, “Air tanah di Jakarta, terutama Jakarta Utara telah tercemar 56% bakteri coliform, dan bakteri fecal coli 67%. Dan sebagain besar air tolite di kawasan industri seperti KBN Cakung menggunakan air tanah, hal ini tentu saja akan sangat berpengaruh dengan kesehatan reproduksi buruh perempuan, yang seharusnya membutuhkan air bersih”. Selain itu untuk mendapatkan air bersih buruh perempuan harus merogoh uang sekitar 200-300 ribu rupiah setiap bulannya, tentu saja ini snagat mahal jika dibandingkan gaji mereka yang hanya Rp.2.300.000, tambahnya.
Dalam penutupan acara, masing-masing delegasi mengucapkan deklarasi “Let the Asian Women’s Forum on Climate Justice Begins! Dengan masing-masing bahasa dari setiap negara peserta.
Pagi ini saya membaca pidato pertama anda sebagai Presiden Republik Indonesia. Tentu lebih bergigi ketimbang pidato SBY. Saya senang anda yang lebih banyak dipilih rakyat, karena yang satu telah sejak awal seharusnya tak jadi calon presiden. Sayang, dia juga cukup banyak dipilih rakyat.
Bung, pilpres boleh usai, dan bung himbau para pendukung, rakyat dari berbagai jenis penghidupan, untuk kembali pada kehidupan sehari-hari, kerja seperti biasa. Memang bung, 2 bulan terakhir ini menguras energi bagi siapapun yg terlibat pilpres ini, tetapi persoalan mayoritas penghidupan rakyat sudah lama memeras energi, khususnya bagi rakyat yg sedang melawan kesengsaraan. Saat ini, tak sedikit diantara mereka, setelah berjuang mendukung bung, belum bisa pulang dan tenang. Mereka masih harus dan sedang berjuang karena THR belum dibayar perusahaan, kontrak kerja diputus sepihak sebelum lebaran, pabrik semen belum angkat kaki dari Rembang, brimob belum ditindak dari represinya pd petani dan warga Teluk Jambe Karawang, harga2 naik dan tarif angkutan lebaran memeras habis THR yg tak seberapa, para pengungsi Syiah yg tak berlebaran di kampungnya, umat Ahmadiyah yg tak bisa ibadah puasa dan lebaran dgn tenang. Juga korban pelanggaran dan pejuang HAM yg msh terus menuntut agar para pelanggar HAM tak lagi sumringah di hari lebaran bebas dari hukuman, tak marah2 minta pemilu ulang. Mereka semua, rakyat pejuang, masih berlanjut berjuang, bung. Mereka belum bisa pulang dan kerja dengan tenang.
Bung, politik memang seharusnya kegembiraan. Tetapi tidak di dalam masyarakat dimana yg berduit dan bersenjata pegang kendali, hukum yg belum melindungi orang2 tak punya uang, membebaskan para pelaku kekerasan terhadap perempuan, meminta orang2 susah terus bersabar dan terus toleran sementara yg berduit terus diberi konsesi. Tidak ada kegembiraan politik dalam keadaan seperti itu. Kalaupun ada, itulah harapan, dan masih belum menjadi kenyataan.
Bung, politik pembebasan yg bung sebut semalam itu berkonsekuensi besar dan indah bila berani dijalankan. Ia membutuhkan sikap yg berpijak pada mayoritas rakyat yang dilanggar hak azasinya untuk hidup layak dan mendapatkan keadilan; yg mendengar semua protes, masukan, gugatan sejarah, orang-orang yang sudah lama melawan ketidakadilan dan penindasan; yg berbicara lebih banyak dan lantang bukan pd kami, tetapi kepada Bank Dunia, IMF, ADB, kepala pemerintahan negara2 adidaya, korporasi trans/multi/nasional, KADIN dan APINDO, serta administratur negara; yg bertindak lebih berani mengontrol para pemegang kekayaan dan kebijakan, dan membela para pekerja biasa. Politik pembebasan adalah cara sehingga cita2 konstitusi yg baik dapat diwujudkan, dan yg belum ada dalam konstitusi dapat ditambahkan. Revolusi mental yg bung tawarkan tak jadi apa2 tanpa politik pembebasan.
Bung, kedepan ini adalah pertarungan. Boleh saja sambil bergembira, tetapi waktu tak memberi kita kemewahan dan banyak jeda untuk merasakannya. Persatuan Indonesia itu setelah kemanusiaan yg adil dan beradab. Ketika kemanusiaan kita semua dirampas oleh kuasa org2 terkaya, jenderal2 pengendali senjata, korporasi2 terkaya di dunia, institusi2 keungan global yg sdg mendikte ekonomi kita, maka persatuan Indonesia yg sebenarnya masih harus diperjuangkan. Kita tidak bisa bersatu dengan elit-elit koruptor, penjahat HAM, dan korporasi kriminal. Sudah terlalu lama rakyat berkorban dan sengsara untuk mereka.
Seperti kata anda, bung: singsingkan lengan baju dan kerja, seperti kami yg tak sempat melepas gulungan kemeja, bahkan berpakaian layak, karena selalu bekerja. Kerjalah lebih keras bung, kami juga. Buat garis pembatas bung, karena yang memilih anda tak mau hidup rukun dan harmoni dengan para koruptor dan penjahat HAM. Penjarakan mereka segera. Jika bung belum berani, kami akan melawan lebih keras.
Kalau bung tahu sedang berada di sarang buaya, maka anda tak akan lebih banyak mendengarkan para buaya. Jalur-jalur pendengaran baru sudah dibuka oleh para relawan anda; jalan setapak baru sudah dibuka oleh rakyat yg berlawan di sekeliling anda dan dunia. Kini bung yg harus memilih: mendengar siapa dan berpijak dimana? Kami tak bisa, dan tak akan, menunggu terlalu lama.
TEMPO.CO, Jakarta: Polisi akan menghentikan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan Sitok Srengenge. Polisi menganggap sulit untuk membuktikan Sitok melakukan tindak pidana pemerkosaan terhadap korbannya, RA, 22 tahun.
“Kami telah bertanya pada banyak saksi, tapi kesaksian mereka tak cukup untuk membuktikan laporan korban,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto, Rabu, 23 Juli 2014.(Baca : Kasus Sitok, Polisi Dinilai Lamban )
TRIBUNNEWS.COM, SOLO – Tur Gerakan Obor Marsinah mendarat di Solo, tepatnya di kampus FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta, Rabu (7/5/2014).
Humas Gerakan Obor Marsinah, Vivi Widyawati, mengungkapkan tur gerakan Obor Marsinah ini sudah dilakukan seminggu yang lalu dimulai dari Jakarta menyusur ke Bekasi, hingga Semarang, lalu Yogyakarta.
“Setelah di Yogyakarta, sekarang kami sambangi Solo dan nanti siang kami akan ke Sragen menemui buruh di salah satu pabrik di sana. Setelah itu kami akan lanjutkan ke Ngawi sampai Sidoarjo dan berakhir di Surabaya,” ujarnya.
Tujuannya tur gerakan obor Marsinah ini sebenarnya adalah, sebagai upaya untuk mengingatkan kembali mengenai kasus Marsinah yang tak kunjung selesai.